Hentikan Vape Karena Penyakit VAPI Mengintai

Hentikan Vape Karena Penyakit VAPI Mengintai

Tren rokok elektrik atau vape di Indonesia semakin mengalami lonjakan. Karena itu, bukan tidak mungkin bila penyakit paru-paru disebabkan vape akan meningkat kasusnya, sebagaimana di Negara Amerika Serikat. Tidak seperti di Negeri paman Sam, kasus penyakit VAPI disebabkan vape di Negara kita belum banyak muncul menjadi sorotan. Jenis penyakit paru akibat vape ini terbilang baru.

Di Negara Amerika Serikat, kasus penyakit disebabkan vape kabarnya mencapai i 1.000 kasus lebih dengan jumlah orang yang meninggal dunia sebanyak 19 orang  hingga Jumat tanggal 4 Oktober 2019. Ketua PDPI (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia) yakni dr. Agus Dwi Susanto menyatakan bahwa tidak adanya pelaporan maupun pencatatan sebagaimana di Amerika Serikat, menjadikan kasus penyakit akibat vape tidak terungkap.

Selain itu, dr. Agus Dwi Susanto menyebut bahwa hingga kini belum ada pula tata laksana di seluruh dunia berkaitan penyakit yang diakibatkan vape. Alhasil kebanyakan pasien justru didiagnosis dengan penyakit pneumonia (radang paru) tanpa diketahui apa penyebabnya. dr. Agus menyebutkan bahwa ketiadaan perihal tata laksana menjadikan para dokter mengkategorikan penyakit paru pada umumnya. PDPI sendiri akan membuat bagaimana tata laksana penyakit terkait vape sebagaimana di Negara Amerika Serikat supaya kasus penyakit ini bisa terdata link dewa poker.

dr. Agus Dwi Susanto bertugas melayani di RSUP Persahabatan mengakui bahwa ia pernah menangani pasien yang mengalami gejala serupa penyakit VAPI (Vaping Associated Pulmunory Injury) atau penyakit akibat vape. Pasien tersebut mengaku pula, telah menjadi perokok sejak ia masih duduk di bangku SMA dan 6 bulan terakhir sebelum gejala penyakit VAPI, ia beralih pada vape atau rokok elektrik. Artinya kasus ini sesuai dengan CDC AS (Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Amerika Serikat) yang menetapkan penyakit paru terkait penggunaan vape gejalanya akan muncul setelah 90 hari lebih.

Pasien laki-laki tersebut berumur 23 tahun memiliki keluhan sesak dan batuk selama 3 hari sebelum konsultasi ke dokter. Namun ia tidak mengalami demam dan tidak berkeringat saat malam hari. Tidak ada riwayat TBC, asma, dan tidak ada riwayat operasi. Hasil rontgen pasien memperlihatkan bahwa paru-parunya terdapat cairan atau hidropneumotoraks pada rongga kiri pleura. Kondisi atau gejala klinis seperti itu ditemukan pada pasien penderita penyakit VAPI di Amerika Serikat.

Tak hanya dr. Agus Dwi Susanto, dokter spesialis paru lainnya menemukan kasus yang serupa pula. Rekan sejawat dr. Agus pernah menangani laki-laki remaja 18 tahun yang mengeluh sesak napas, demam dan batuk 3 minggu dengan bercak darah. Dia tidak mempunyai riwayat TBC maupun asma. Sedangkan foto rontgen menunjukan adanya infiltrat dan pasien remaja tersebut menggunakan vape sekitar 3 bulan sebelum adanya keluhan.

Kenali Gejala Penyakit VAPI

Pada awal kemunculannya, vape dianggap sebagai cara merokok yang lebih aman daripada rokok konvensional. Namun anggapan dari kalangan awam tersebut merupakan sebuah kesalahan. Vape atau rokok elektrik menyebabkan penyakit paru-paru yang awal kasusnya dinilai misterius sebab mewabah di Negara Amerika Serikat. Kasus ini sangat berkemungkinan terjadi pula di negara lainnya, termasuk Indonesia.

Orang yang menderita penyakit VAPI (Vaping Associated Pulmunory Injury) mengalami sejumlah gejala gangguan pernapasan, gangguan saluran cerna, serta gangguan kesadaran. Apa saja gejala penyakit VAPI meliputi:

  • Sesak napas
  • Demam
  • Sakit kepala
  • Batuk
  • Gangguan kesadaran
  • Nyeri dada
  • Diare
  • Muntah

Selain dapat dideteksi dari gejala yang muncul, penyakit VAPI juga dapat dideteksi dengan melihat adanya kerusakan paru dalam hasil rontgen. Apabila gejala-gejala dirasakan secara aktif setelah menggunakan vape sekitar 90 hari, maka segera berkonsultasi pada dokter spesialis paru untuk mendapatkan penanganan.

IDI Melarang Penggunaan Vape

IDI (Ikatan Dokter Indonesia) menghimbau masyarakat agar berhenti menggunakan rokok elektrik atau Vape karena terdapat zat-zat berbahaya. Vape terbukti mengganggu kesehatan paru-paru, pembuluh darah,jantung, otak, dan organ tubuh lainnya. dr. Prijo Sidipratomo sebagai Ketua Umum KNPT (Komisi Nasional Pengendalian Tembakau) menyatakan bahwa sebelum maraknya kasus penyakit VAPI (Vaping Associated Pulmunory Injury), pihak IDI telah memberitahukan jika Vape sama berbahayanya dengan rokok biasa.

Rokok elektrik mempunyai efek buruk jangka panjang mirip dengan rokok biasa (konvensional). Sedangkan efek buruk jangka pendek, rokok elektrik bersifat inflamasi serta iritatif karena memiliki cairan mengandung nikotin, bahan toksik dan zat karsinogenik. Rokok elektrik mengakibatkan infeksi jaringan peradangan. Kasus yang sudah ditemukan menunjukkan vape dapat menyebabkan asma dan penyakit paru-paru.

Selain itu, rokok elektik juga merusak ginjal dan organ hati termasuk mengganggu sistem imunitas. Rokok elektrik dikaitkan pula dengan penyakit kanker dan autoimun. PADPI (Perhimpunan Dokter Penyakit Dalam) sangat mendukung kebijakan pelarangan vape. Vape yang digunakan remaja atau anak-anak dapat merusak otak. Organ otak berhubungan erat dengan kecerdasan, kebijaksanaan, dan perilaku. Bagian otak rentan nikotin dalam rokok konvensional dan vape. Zat nikotin dapat mencapai otak dalam 7 detik saja.

Sementara itu, KemenKes (Kementerian Kesehatan) menyatakan bahwa mendukung himbauan larangan terhadap rokok konvensional dan rokok elektrik. Akan tetapi terkait dengan bagaimana peredarannya, maka peraturan tersebut merupakan kewenangan dari kementerian lainnya. Kemenkes sangat tegas dan konsisten mendukun pencegahan efek buruk rokok. KemenKes telah menyurati KemenPer (Kementerian Perdagangan) tetapi tidak ada respon dari kementerian tersebut. Kemenkes masih berupaya dalam pencegahan rokok elektrik sebab sama saja bahayanya. Cegah penyakit VAPI dengan menghentikan kebiasaan merokok elektrik dan mengalihkannya pada hal positif yang menyehatkan, akan lebih baik untuk hidup yang berkualitas, termasuk pula menghentikan kebiasaan merokok konvensional.

Continue Reading